Tuesday, 18 June 2024

TUJUAN DAN FUNGSI PENCIPTAAN MANUSIA DI BUMI



HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH

Di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa ada beberapa tujuan dan fungsi penciptaan manusia yaitu : pertama sebagai Kha lifah (wakil Tuhan di bumi), kedua sebagai (pengabdi Allah) (Nizar, 2000 : 17).

1. Manusia Sebagai Khalifah

            Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia diciptakan Allah adalah sebagai pengemban amanat Allah QS. Ar-Rum ayat 72. karena manu sia sebagai pengemban amanat Allah, maka manusia diberikan kedudukan sebagai Khalifah-Nya, QS. Al-Baqarah ayat 30 yang Artinya : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “ Mengapa engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”

            Al-Maraghi sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar, menafsirkan kata khalifah dalam ayat diatas dengan dua pengertian yaitu: pertama, khalifah adalah pengganti, yaitu pengganti Allah untuk melaksanakan titah-NYA di dunia ini, kedua, kata khalifah diartikan sbagai pemimpin. Yaitu pemimpin yang diserahkan tugas untuk mem impin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendaya gunakan alam semesta dalam kepentingan manusia secara kese luruhan atau bersama. Pendapat ini dipertegas oleh Muhammad Iqbal dengan mengatakan bahwa manusia sebagai khalifah diberikan man date untuk mengatur dunia dengan segala isinya. 

            Dengan tugasnya sebagai khalifah, maka timbul implikasi dan konsekuensi yang harus dimiliki manusia, yaitu kemampuan untuk memahami apa yang akan diatur dan dipimpimnnya, yaitu alam se mesta ini. Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah membekali manusia dengan berbagai potensi. Di samping itu, alam dengan segala isinya ini diciptakan oleh allah adalah untuk kepent ingan manusia QS. Al-Baqarah ayat 29, QS. An-Nahl ayat 80-81, QS, Lukman ayat 20

2. Manusia Sebagai Abdullah (Pengabdi Allah).

            Istilah ‘Abd (hamba) mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah dengan keikhlasan, QS. Adz-Zariyat, ayat 56 yang artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-ku ”

            Secara lebih luas kata ‘Abd sebenarnya meliputi seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. Dalam agama Islam segala aktivitas manusia dapat bernilai ibadah apabila pelakunya berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah (idza nawa bihi failuha at Taqarrub ilallah).

            Jadi penghambaan terhadap Allah, bukan dalam arti sempit dengan hanya melakukan hubungan vertical (hablumanallah) yang dilambangkan dengan ibadah ritual saja. Justru lebih dari hal tersebut, ibadah adalah hubungan horizontal (habluminannas), yaitu segala aktifitas yang dikerjakan ketika menjalin hubungan dengan sesame makhluk, baik dalam aspek hukum, akonomi, ataupun social. 

            Ketika manusia mampu menjalin hubungan yang baik dengan Allah (habluminallah) dan hubungan dengan sesame manusia (habluminannas), maka manusia dapat mewujudkan tujuan akhir penciptaannya sebagai manusia yang sempurna (insan kamil). 

3. Konsep Insan Kamil 

            Mengenai kesempurnaan diri manusia dalam Isalam telah ban yak diungkapkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya isyarat ten tang penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Ayat-ayat tersebut antara lain QS. At-Tin (94) ayat 4-6 yang artinya : 

 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang ser endah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus putusnya”. 

            Walaupun manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran kesempurnaan citra Illahi, tetap kemudian, ketika ia terjatuh dari prototype ketuhanan, maka kesempurnaan tersebut semakin berkurang (Yunasril: 1997 : 3). 

            Istilah insan kamil terdiri dari dua kata: al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Istilah insane kamil secara teknis muncul dalam literature Islam di sekitar awal abad ke 7H/13M atas gagasan Ibn Arabi (w. 638 H/ 1240 M) yang digunakan untuk melabeli konsep manusia ideal yang menjadi lokus penampa kan dari Tuhan. 

            Namun dari hasil penelitian awal, Yunasril (1997: 3) berpendapat bahwa subsatansi konsep insane kamil itu, sebenarnya telah muncul dalam Islam sebelum Ibnu “Arabi, hanya saja konsep konsep tersebar tidak menggunakan istilah insane kamil. Pada awal abad 3 H muncul Abu Yazid al-Busthami (w. 264 H/ 877 M) yang membawa konsep al-wali al-kamil (wali yang sempurna). Menurutnya manusia sempurna adalah orang yang telah mencapai ma’rifat Tuhannya. Ma’rifat yang sempurna akan membuat wali fana (sirna) dalam nama Tuhan sehingga sang wali dapat mengetahui rahasia rahasia Tuhan masa lalu dan masa yang akan datang (Yunasril, 1997: 6).

Labels: , , , , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home